Menyusuri Eksplorasi Teknik Dipo Andy
Perupa Dipo Andy berbicara pada pembukaan pamerannya yang berjudul Kundalini Bumi di Galeri Salihara, Jakarta, Sabtu 2 Maret 2013. Pameran ini menampilkan 111 kolase citraan wajah permukaan bumi dari Google Earth yang dipadukan dengan wajah tokoh-tokoh terkenal di dunia. Ke atas lapisan citraan tersebut, Dipo mencipratkan lumpur akibat pengeboran oleh Lapindo Brantas, Inc. di Sidoarjo, Jawa Timur.Pameran berlangsung hingga 2 April.-JP/Ricky Yudhistira/Adi/19.

Bagi Dipo Andy, penjelajahan teknik adalah pencarian yang tidak pernah berhenti bagi seorang seniman.

Salah satu ukuran kemampuan yang dituntut dari seorang seniman adalah penguasaan akan teknik. Bisa dibilang, dengan kemampuan teknik yang luas, seorang seniman mampu melakukan penjelajahan tema dan mengisi karyanya dengan kualitas. Inilah pula yang ingin dibuktikan oleh Dipo Andy, yang menekankan pada eksplorasi teknik di setiap karyanya, termasuk dalam karya-karya yang dipamerkannya di Galeri Salihara dari 2 Maret hingga 2 April.

Di pameran bertajuk Kundalini Bumi yang menyajikan 111 karyanya itu, Dipo menampilkan teknik yang mengeksplorasi lumpur dan resin yang digabungkannya dengan kanvas, cat, dan foto satelit yang diolah secara cetak digital menampilkan wajah tokoh-tokoh dunia.

Ada kekontrasan yang ditampilan Dipo dalam penempatan visual karyanya, yaitu dengan menggabungkan tampilan selebriti dunia dengan ekspresi tersenyum atau pandangan percaya diri yang kemudian dibenturkannya dengan tumpahan lumpur Lapindo yang menjadi simbol atas kerusakan bumi. Kasus lumpur akibat pertambangan Lapindo itu masih belum terselesaikan hingga kini, menyisakan ratusan desa tenggelam oleh lumpur.

Sudah menjadi kelaziman dalam ranah kesenian, ketika problem sosial menjadi inspirasi bagi para seniman untuk dijadikan tema berkeseniannya. Terutama perkara Lapindo. Salah satunya seniman senior Tisna Sanjaya yang membuat serangkaian instalasi yang mengangkat tema Lapindo termasuk menggunakan material lumpur Lapindo ke dalam karyanya. Salah satu instalasi tentang Lapindo ini ditampilkan Tisna Sanjaya dalam Art Stage 2013 di Singapura pada Januari 2013.

“Dalam khayalan saya, orang-orang yang saya tempatkan di dalam lukisan sedang melakukan kampanye tentang keindahan dan kerusakan bumi,” ucap Dipo dalam perbincangan dengan Sarasvati sesaat setelah pembukaan pamerannya di Salihara.

Dipo kemudian bercerita tentang teknik baru pada seri lukisannya kali ini. Saat pertama kali Google Earth, sekitar 2006, banyak dibicarakan orang karena kemampuannya menangkap semua benda bergerak maupun tidak bergerak di atas bumi melalui pencitraan satelit, Dipo justru mencari bagaimana menciptakan karya seni dari teknologi itu.

“Kebetulan ketika itu, di tahun 2007, sedang berlangsung KTT Lingkungan Hidup di Garuda Wisnu Kencana-Bali,” ucap pelukis yang masuk sebagai Lima Pemenang Philips Morris Indonesia Awards ini. Maka keinginannya untuk berkreasi dengan Google Earth pun bertemu dengan semangat pembelaan lingkungan hidup dari petinggi di seluruh dunia.

Dipo kemudian menangkap bumi melalui mata satelit. Lalu menumpahkan cat hitam yang kemudian dipindai dan dicetak secara digital. Proses ini membentuk lapisan tersendiri pada bidang datar. Dipo kemudian memindai gambar dan melapisinya dengan resin sebagai pengikat bagi lumpur Lapindo yang akan ditempelkan pada bidang datar yang juga telah ditempel foto tokoh dunia.

“Saya harus mengukur dengan presisi. Saya harus mengukur kapan dan di bidang mana saja saya bisa menuangkan cat dan lumpur. Lalu bidang mana saja yang harus dikosongkan. Setelah lumpur kering, saya masih perlu menuangkan resin.” Ini semua dilakukan dengan perhitungan yang matematis agar kontras antara keindahan dan kerusakan bumi tersampaikan dengan komposisi yang tepat.

Meski terkesan sangat teknis, Dipo sangat menyakini eksplorasi yang dilakukannya telah mematangkan intuisi seninya. “Itu yang membedakan antara seniman dengan pemikir.”

Dipo kemudian menjelaskan, seniman selain memiliki ide, dia juga mempunyai ketrampilan mengolah isu-isu dalam karyanya dan eksplorasi teknik adalah kuncinya. Sedangkan pemikir, meski secara kuantitatif banyak memiliki pengetahuan tapi mereka tidak mengerti akan detail seni rupa. “Mengeksplorasi teknik adalah pencarian yang tidak pernah berhenti bagi seorang seniman.”

Maka bagi Dipo, eksplorasi teknik sangatlah penting. “Saya pikir, karya tidak pernah sempurna, karena itu saya akan terus mencari lagi. Karena kalau seniman berhenti mencari maka itu berarti mati. Berhenti mencari buat saya juga artinya intuisi seni saya sudah tidak mampu menggetarkan orang lain.”

Sang Kurator Asikin Hasan pun menyakini eksplorasi teknik yang dipilih Dipo sepanjang kariernya adalah proses dialog yang diciptakan Dipo kepada pecinta karyanya. “Seorang seniman harus berani melakukan itu. Karena pilihannya bisa berupa orang tidak setuju dengan dia dan kemudian ditinggalkan atau sebaliknya. Dan seniman-seniman mapan justru takut untuk mengeksplorasi karena bisa jadi ditinggalkan penggemarnya. Dipo Andy tidak peduli akan hal itu.”

Justru menurut Asikin, eksplorasi teknik yang dilakukan Dipo menampilkan hal baru. Ini berbeda dengan persepsi negatif yang disampaikan mereka yang melihat eksplorasi teknik hanyalah sebuah ornamen karya seni. “Ekplorasi teknik kaitannya dengan medium dan bagi seniman, medium adalah bahasa. Buat saya sendiri, sebagai kurator, penjelajahan medium itu sangat penting buat seorang seniman.”

Asikin kemudian mencontohkan Mark Rothko yang dengan penjelajahan teknik yang tinggi telah membuat orang bisa mengerti bahasa yang disampaikannya tanpa perlu berbicara mengenai tema lukisan. “Rothko hanya bermain warna saja. Misalnya merah, ya hanya merah saja. Tapi tanpa perlu bicara apa-apa, warna merah itu sudah bercerita tentang kontemplasi.”

Ditambahkan Asikin, eksplorasi teknik yang dilakukan Dipo kali ini telah menciptakan sesuatu yang baru pada seni lukis. Resin dan lumpur yang selama ini menjadi material seni patung justru menjadi elemen baru pada material kanvas, yang memberi warna baru pada perkembangan seni lukis. (Sarasvati)